Skip to main content

Posts

Catatan Produksi: Menentukan Batas Waktu Pengerjaan

Mulai Januari, meski mulainya di detik-detik terakhir _ aku akan mencoba berbagi catatan tentang produksi dan seputar pengalaman menjadi seorang bookbinder yang memiliki brand 'vitarlenology.' Ini bukan berarti sietem produksiku lebih baik dari yang lain, bukan. Ini justru menjadi catatan buatku sendiri yang mungkin berguna buat orang lain, untuk saling belajar dan berbagi pengalaman sebagai seorang 'crafter' dan 'book binder'. "Berapa lama ya perngerjaannya?" atau "Selesainya kapan ya mba?" pernyataan yang sangat lazim ditanyakan kosumen, ketika mereka memesan produk buatan kita. Dulu aku menjawabnya sesuai dengan waktu minimal yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya. Misalnya aku bisa selesaikan dua hari ya aku jawab dua hari, tiga hari, ya aku jawab tiga hari. Tapi ternyata jawaban ini buatku sungguh merepotkan. Bayangkan saja, jika ada konsumen pesan di hari senin, aku akan menjawab notebooknya akan selesai dikerjakan di hari kamis.

22 Hari Mendaur Ulang: Membuat Buku Catatan Dari Barang Bekas

Dalam rangka memperingati Hari Bumi, bulan April 2015 lalu, aku membuat hastag khusus di instagram #22recyclednotebooks #22harimendaurulang. Selama 22 hari, mulai 1 sampai 22 April 2015 aku mempublikasikan 1 notebook yang kubuat dengan memanfaatkan bahan-bahan bekas sebagai sampulnya maupun sebagai isinya. Sehingga di Hari Bumi ada 22 ide notebook dari barang bekas.  1 April 2015,  Disket Bekas Hari pertama dibuka dengan mendaur ulang disket bekas jadi notebook. Lumayan, temen-temen tau kalo aku pengumpul 'sampah' kaya begini jadi mereka suka buang sampah disket dengan mengirimkannya padaku makanya stok disket lumayan banyak😊 hayooo siapa yang belum pernah ngalamin ngetik dan di save di disket? 2 April 2015, Kardus Bekas Bir Notebook ini  buat dari kardus bekas tempat bir corona. Aku suka dengan perpaduan warna kuning biru. Di bagian tengah ada pegangan untuk menjinjing. Tanpa mengurangi banyak bagian, akhirnya kardus bekas ini berubah jadi notebook  yang

14 Hari Menjilid Dengan Cinta

Penting buatku, untuk terus menantang kemampuan diri sendiri terutama dalam hal keahlian jilid menjilid buku. Karena sudah memproklamirkan diri sebagai bookbinder, otomatis keahlian dan kemampuanku pun perlu terus menerus di asah. Adalah mba Indah Esjepe @esjepin yang membuat tantangan terbuka di instagram selama tanggal 1 Februari sampai 14 Februari 2015, untuk membuat apapun yang dicintai. Kesempatan ini tentu saja aku pergunakan untuk menjawab tantangan pada diri sendiri. Bisakah selama 14 hari aku membuat pola baru 'bookbinding' secara konsisten? Meski ada beberapa hari bolong karena mesti ke luar kota, aku tetap membayar tantangan itu dan menggenapinya  dengan 14 jenis pola baru 'bookbinding. Selama 14 hari ini aku banyak mengambil ide dari pola-pola 'embroidery' juga weaving (thanks to pinterest). Dan ternyata memindahkan motif-motif Yunani, geometris, oriental, ke dalam pola 'bookbinding' tidak semudah yang aku bayangkan. Banyak cara baru yang aku te

Dari Workshop Book Binding di Catalyst Art Shop, Jakarta

Awal Januari tepatnya tanggal 10 Januari 2015 lalu , aku kembali menggelar workshop book binding di luar Bandung. Kali ini di Catalyst Art Shop di Jl. Kemang Utara Raya No. 50 Jakarta. Ada sebelas peserta yang mengikuti dengan tekun pelajaran cara menjilid dengan teknik simple binding, 2 in 1 (do si do), longstitch binding dan french link binding. Teknik dasar yang bisa dikembangkan lebih jauh oleh peserta. Berhubung banyak yang ingin ikutan tapi ga kebagian tempat, rencananya bulan Februari akan ada lagi jadwal workshop bookbinding di  Sampai jumpa di workshop berikutnya ya.. :) Terima kasih untuk semua peserta yang sudah gabung di workshop ini, selamat mencoba di rumah ya.. :)

Mari Mencatat Kumpulan Rasa

Ketika ingat rasa masakan, apalagi itu masakan rumah, masakan ibu, yang terbayang bukan hanya bentuk masakan dan rasa masakan itu sendiri, tapi seluruh peristiwa beserta detail-detail yang menyertainya akan bangkit kembali. Aku jadi ingat, ketika mengenang soal gula kelapa yang ada dimasakan ibuku dan bagiamana ibuku meminta budeku mengirimkan gula kelapa beserta asem jawa dari Yogjakarta ke Bandung setiap bulannya. Ibu ingin memasak masakan Jawa yang otentik. Bagi ibuku sebagai perantau di kota Bandung, tidak ada yang bisa membuat sebuah masakan terasa otentik jika tidak menggunakan bahan atau bumbu dari tempat asalnya. Ketika kisah ini dikutip di liputan Jelajah Kuliner Kompas 'Empat Wangsa Sedulur Rasa', aku tak kuasa membendung tangis ketika membacanya kembali. Seketika semua rasa masakan dan kenangan masa itu menyesaki ingatanku dan menggugah rasa lekat dalam kepekatan kenangan akan 'rasa ibu', apalagi dikenang ketika kondisi ibu sudah tidak lagi memungkinkan untu

Vitarlenology di Klasika Kompas, 17 September 2014